Tangkapan layar-Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Wamendikdasmen) Atip Latipulhayat memaparkan skenario pembebasan biaya pendidikan di sekolah swasta dalam webinar bertajuk “Hak Atas Pendidikan Dasar Gratis Pasca Putusan MK” di Jakarta pada Kamis (26/6/2025). (ANTARA/Hana Kinarina)
Akreditasi independen bukanlah liberalisasi, melainkan kebutuhan untuk menjaga mutu di era globalisasi
Jakarta (ANTARA) – Judicial review atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) kembali menguji cara kita memahami amanat konstitusi.
Gugatan dari Badan Kerjasama Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Negeri bersama dosen dan mahasiswa mempersoalkan peran Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) dianggap mengurangi tanggung jawab negara. Kekhawatiran itu berangkat dari tafsir atas Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan kewajiban pemerintah menyelenggarakan sistem pendidikan nasional.
Namun Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi menjelaskan bahwa akreditasi oleh LAM bukanlah pelepasan tanggung jawab negara. Negara tetap hadir melalui penetapan standar nasional, regulasi, dan pengawasan ketat. LAM berfungsi menavigasi teknis penjaminan mutu secara profesional dan independen.
Pandangan ini menegaskan prinsip: negara tidak perlu mengatur setiap detail, tetapi memastikan arah pendidikan dalam haluan konstitusi.
Kelemahan ada di kedua sisi. Jika semua urusan akreditasi diambil alih negara, birokrasi akan menumpuk dan mutu bisa terjebak pada formalitas administratif. Jika semua diserahkan kepada LAM, risiko komersialisasi dan kesenjangan menjadi ancaman.
Kritik terhadap LAM yang dianggap bekerja eksklusif dan cenderung birokratik harus diakui, tetapi jangan jadi alasan menolak independensi. Sebaliknya, masalah ini jadi alarm bagi LAM agar lebih transparan, inklusif, dan berpihak pada kepentingan pendidikan nasional.
Baca juga: Komisi X: Revisi UU Sisdiknas definisikan alokasi pendidikan 20 persen
Reformasi sebagai kebutuhan
Kritik atas eksklusivitas LAM juga menyingkap kebutuhan reformasi internal. Agar independensinya tidak jatuh pada egoisme kelembagaan, LAM perlu diisi oleh orang-orang baru, sebab tantangannya juga baru. Bukan didominasi orang lama atau mantan pegawai kementerian yang membawa pola bukan perspektif baru.
Dengan begitu, LAM tidak hanya menjadi perpanjangan tangan negara, tetapi tampil sebagai mitra kritis independen, mampu memperkuat kualitas pendidikan tinggi secara substantif. Ini bukan melemahkan posisi LAM, sebaliknya reformasi ini untuk memastikan independensinya agar lebih bersungguh-sungguh dalam memainkan perannya.
Dalam perspektif Pancasila, pendidikan adalah usaha kolektif, bukan monopoli negara maupun pasar. Tanggung jawab pendidikan adalah bagian dari upaya memperkuat nilai-nilai dalam Pancasila.
Dari kerangka ini, peran negara tidak boleh absolut, tetapi juga tidak boleh absen. Negara wajib menjamin akses dan keadilan, sementara LAM hadir sebagai instrumen independen untuk memastikan kualitas.
Dengan kata lain, Pancasila menjadi kompas yang menuntun keseimbangan: otonomi pendidikan, tetapi tetap dalam koridor tanggung jawab negara.
Dalam prakteknya, pendidikan nasional Indonesia telah mengintegrasikan nilai-nilai itu ke dalam kurikulum, proses pembelajaran, dan kegiatan ekstrakurikuler. Tujuan utamanya, untuk membentuk siswa yang memiliki karakter yang baik, beriman dan bertakwa, serta memiliki kesadaran akan pentingnya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Baca juga: MK tolak uji materi soal negara biayai pendidikan hingga kuliah
12Tampilkan Semua
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.